Pondasi Kedua
Allah memerintahkan untuk
bersatu di dalam agama ini dan melarang dari berpecah belah di dalam agama.
Allah telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang memuaskan yang orang
awam dapat memahaminya [7].
Pondasi
ini terdapat di dalam Al-Qur`an. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan
berpeganglah kalian semua kepada tali Allah, dan janganlah kalian bercerai
berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103). “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang
bercerai berai dan berselisih.” (QS. Ali ‘Imran: 105). “Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka berkelompok-kelompok,
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka
hanyalah terserah kepada.” (QS. Al-An’am: 159). “Dia telah mensyariatkan bagi
kalian tentang agama ini yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh, dan yang telah
Allah wahyukan kepadamu, serta apa yang Allah wasiatkan kepada Ibrahim, Musa,
‘Isa, yaitu agar kalian menegakkan agama ini dan janganlah kalian bercerai
berai di dalamnya.” (QS. Asy-Syura: 13).
Jadi,
tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpecah belah di dalam agama mereka.
Bahkan wajib agar mereka menjadi satu umat di atas tauhid. “Sesungguhnya ini
adalah agama kalian; agama yang satu. Dan Akulah Rabb kalian, maka sembahlah
Aku.” (QS. Al-Anbiya`: 92).
Tidak
boleh bagi umat Nabi Muhammad untuk berpecah belah di dalam akidah, ibadah, dan
hukum-hukum agama. Yang ini mengatakan halal, sedang yang ini mengatakan haram
tanpa dalil. Ini tidak boleh. Tidak diragukan bahwa perselisihan merupakan
tabiat manusia, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya,
“Mereka senantiasa berselisih kecuali orang-orang yang Rabbmu rahmati.” (QS.
Hud: 118-119).
Akan
tetapi perselisihan itu diselesaikan dengan kembali kepada Al- Kitab dan
As-Sunnah. Sehingga jika saya dan Anda berselisih, maka wajib bagi kita untuk
kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Jika kalian berselisih dalam suatu
perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian beriman kepada Allah
dan hari akhir.” (QS. An-Nisa`: 59).
Adapun
apa yang dikatakan orang bahwa semua orang tetap berada di atas madzhabnya,
semua orang tetap di atas akidahnya, dan manusia bebas dalam pendapat mereka
dan menuntut kebebasan berakidah dan kebebasan berpendapat; maka ini adalah
kebatilan yang Allah telah melarangnya. Allah berfirman yang artinya, “Dan
berpeganglah kalian semuanya kepada tali Allah dan janganlah kalian bercerai
berai.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Jadi
wajib kita bersatu dalam menyodorkan perselisihan kita kepada Kitab Allah
sampai pun dalam masalah-masalah fikih. Ketika kita berselisih dalam suatu
masalah, lalu kita sodorkan kepada dalil-dalil. Kemudian barang siapa yang
didukung dalil, maka kita ikut bersamanya. Dan barang siapa yang menyalahi
dalil, maka kita tidak boleh berpegang kepada suatu kekeliruan.
Sesungguhnya
Allah jalla wa ‘ala tidak membiarkan kita berselisih dan bercerai berai tanpa
menetapkan bagi kita suatu timbangan yang dapat menjelaskan yang benar dari yang
keliru. Bahkan Allah telah menetapkan Al-Qur`an dan As-Sunnah. “Maka
kembalikanlah kepada Allah” yakni Al-Qur`an. “Dan Rasul” yakni As-Sunnah. Dan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh aku
telah tinggalkan untuk kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh dengannya,
niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku, yaitu Kitab Allah dan Sunnahku.”
Maka,
seakan-akan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di antara kita
dalam bentuk Sunnah yang telah terkumpul, telah dishahihkan, dan telah
dijelaskan. Dan ini merupakan karunia Allah subhanahu wa ta’ala untuk umat ini.
Yaitu, bahwa Allah tidak membiarkan umat ini berada di dalam kebingungan, namun
Dia membiarkan umat ini dalam keadaan di sisinya ada yang menunjukkan kepada
Allah subhanahu wa ta’ala dan menunjukkan kepada kebenaran. Adapun yang tidak
menginginkan kebenaran dan menginginkan setiap orang tetap di atas madzhabnya
dan keyakinannya, serta mengatakan: kita bersatu dalam apa yang kita sepakati
dan masing-masing kita memberi udzur kepda yang lain dalam perkara yang kita
perselisihkan; ini tidak diragukan merupakan perkataan yang salah.
Maka
yang wajib adalah kitab bersatu di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
Sedangkan apa yang kita perselisihkan, kita kembalikan kepada Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya. Bukan malah masing-masing kita memberi udzur kepada yang lain dan
tetap di atas perselisihan. Bahkan kita kembalikan kepada Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya. Setiap apa yang mencocoki kebenaran kita berpegang dengannya,
sedangkan apa yang merupakan kekeliruan kita rujuk darinya. Ini yang wajib bagi
kita, sehingga umat ini tidak tetap dalam keadaan berselisih. Terkadang orang-orang
yang mengajak untuk tetap berada di atas perselisihan menyebutkan hadits yang
artinya: Perselisihan umatku adalah rahmat; hadits ini diriwayatkan akan tetapi
tidak shahih.
Perselisihan
bukanlah rahmat, perselisihan adalah azab. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang- orang yang bercerai
berai dan berselisih setelah keterangan yang jelas datang kepada mereka.” (QS.
Ali ‘Imran: 105). Jadi perselisihan akan mencerai beraikan hati-hati dan
memecah belah umat. Dan jika manusia sudah berselisih, tidak mungkin mereka
saling menolong dan saling membantu selamanya. Bahkan yang ada di antara mereka
adala permusuhan dan fanatik kepada kelompok dan golongan mereka. Mereka tidak
akan saling tolong-menolong selama-lamanya.
Mereka
akan saling tolong-menolong hanya apabila bersatu dan berpegang kepada tali
Allah seluruhnya. Inilah yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wasiatkan,
beliau bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Allah meridhai kalian tiga perkara:
kalian menyembahNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, kalian
berpegang kepada tali Allah seluruhnya dan tidak berpecah belah, dan kalian
saling menasihati orang-orang yang Allah jadikan pemimpin kalian.” Inilah tiga
perkara yang Allah ridhai untuk kita.
Yang
menjadi pendukung dari tiga perkara tersebut adalah sabda beliau, “Kalian
berpegang teguh kepada tali Allah seluruhnya dan tidak berpecah belah.” Bukan
makna hadits ini bahwa tidak ada perselisihan dan tidak ada perpecahan. Tabiat
manusia adalah adanya perselisihan. Akan tetapi makna hadits ini adalah jika
perselisihan dan perpecahan terjadi, maka diselesaikan dengan kembali kepada Kitab
Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pertentangan berhenti
dan perselisihan pun berakhir. Inilah yang benar.
Berhukum
kepada Al-Qur`an atau As-Sunah tidak terbatas pada masalah pertentangan dalam
perselisihan di antara manusia dalam perkara harta. Dimana mereka memaknai
berhukum kepada apa yang Allah turunkan dengan hukum putusan antara manusia dalam
perkara harta dan perselisihan dalam urusan dunia saja.
Tidak
seperti itu. Bahkan Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah hukum di antara mereka dalam
setiap perselisihan. Dan perselisihan dalam akidah lebih parah daripada
perselisihan dalam masalah harta. Dan perselisihan dalam perkara ibadah dan
urusan halal haram lebih berbahaya daripada perselisihan dalam sengketa harta.
Sengketa harta hanyalah satu bagian dari perselisihan yang wajib diselesaikan
dengan Kitab Allah ‘azza wa jalla. Para shahabat radhiyallahu ‘anhum terjadi
perselisihan di antara mereka, namun dengan cepat mereka kembali kepada Kitab
Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga perselisihan mereka
segera berakhir.
Dan
juga pernah terjadi perselisihan antara mereka sesudah wafatnya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai siapa orang yang menjadi pemimpin
sepeninggal beliau. Alangkah cepat mereka menyelesaikan perselisihan dan rujuk.
Lalu mereka menjadikan Abu Bakr Ash-Shiddiq sebagai pemimpin. Mereka tunduk dan
taat kepada beliau. Hilanglah perselisihan, selesailah perpecahan yang terjadi
dalam menentukan siapa yang menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Perselisihan-perselisihan terjadi di antara para shahabat, akan
tetapi mereka kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu
‘alaihi wa sallam, kemudian hilanglah perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya
kembali kepada Kitab Allah akan menghilangkan dengki dan iri. Karena tidak ada
seorang pun akan menolak Kitab Allah ‘azza wa jalla. Jika engkau katakan kepada
seseorang: Mari kembali kepada ucapan imam fulan atau ‘alim fulan; maka ia
tidak mau menerima.
Namun
kalau engkau katakan kepadanya: Mari kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah
RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam; maka jika dia memiliki keimanan, ia
akan mau menerima dan rujuk.
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Hanyalah ucapan orang-orang mu`min apabila
diajak kepada Allah dan RasulNya untuk berhukum di antara mereka, yaitu mereka
mengatakan: Kami mendengar dan kami taat. Dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung.” (QS. An-Nur: 51). Inilah ucapan orang-orang yang beriman. Adapun
orang-orang munafik, apabila kebenaran itu menguntungkan mereka, mereka akan
datang dengan tunduk. Namun, apabila kebenaran itu memberatkan mereka, niscaya
mereka berpaling, sebagaimana Allah sebutkan tentang mereka.
Sehingga,
orang-orang yang beriman tidak boleh untuk tetap berada di atas perselisihan
dalam segala perselisihan. Tidak dalam perkara pokok, tidak pula pada perkara
cabang. Seluruh perselisihan harus diselesaikan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Jika dalil belum jelas berada di salah satu dari dua pihak yang berijtihad dan
tidak ada pendapat yang lebih dikuatkan antara satu dengan yang lain, maka
dalam kondisi demikian tidak diingkari orang yang berpendapat dengan pendapat
imam yang dipilihnya. Dari sinilah ulama mengatakan: Tidak ada pengingkaran dalam
permasalahan ijtihad. Yaitu: permasalahan yang dalil belum nampak bersama salah
satu dari dua pihak.
Dan Allah telah melarang
kita menjadi seperti orang-orang yang
berpecah belah dan
berselisih sebelum kita, sehingga mereka
binasa [8].
Tatkala
mereka tetap berada di atas perselisihan mereka, mereka akan binasa, berseteru,
dan bertengkar di antara mereka. Ini adalah keadaan orang-orang yang
berselisih. Adapun keadaan orang-orang yang bersatu, mereka kuat dan hilang
kedengkian dari hati-hati merka.
“Demi
Rabbmu, mereka tidak akan beriman sehingga mereka menjadikan engkau sebagai
hakim pada perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak mendapatkan
sedikit pun keberatan dalam diri-diri mereka dari apa yang telah engkau
putuskan dan mereka sepenuhnya menerima.” (QS. An-Nisa`: 65).
Sehingga
tidak ada yang membuat manusia ridha dan menyelesaikan perselisihan kecuali
kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan Allah menyebutkan bahwa
Dia memerintahkan kaum muslimin untuk bersatu di dalam agama dan melarang
mereka dari berpecah belah dalam agama [9].
Allah
ta’ala berfirman yang artinya, “Dia telah mensyari'atkan bagi kalian tentang
agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya.” (QS.
Asy-Syura: 13). Yaitu, janganlah setiap orang memiliki agama sendiri-sendiri
karena sungguh agama ini hanya satu tidak ada perpecahan di dalamnya.
Dan seluruh dalil As-Sunnah
tentangnya semakin menambah jelas dari keanehan yang paling aneh dalam perkara
itu [10].
Kemudian keadaan berubah
sehingga perpecahan di dalam pokok-pokok dan cabang-cabang agama dianggap
sebagai ilmu dan fiqih dalam agama [11].
Ya,
telah tetap hadits-hadits dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menganjurkan
untuk bersatu dan melarang dari berpecah belah dan berselisih. Seperti hadits
yang artinya, “Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup (setelahku),
maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka, kalian wajib berpegang dengan
sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin.”
Sedihnya,
keadaan sekarang berubah. Yaitu, bahwa perselisihan di dalam pokok-pokok dan
cabang-cabang agama dianggap sebagai fikih. Padahal yang wajib adalah kebalikannya.
Bahwa persatuan merupakan fikih dalam agama Allah.
Mereka
mengatakan: Sesungguhnya perpecahan, pemberian kebebasan kepada manusia, dan
tidak adanya larangan atas mereka itulah fikih.
Maka
kita katakan: Fikih adalah persatuan di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian
mereka berkata: Ini adalah keluasan Islam, yaitu bahwa jika seseorang
mengharamkan sesuatu kepada kita dan ada yang berfatwa tentang kehalalan
sesuatu itu, maka mereka menjadikan manusia adalah yang membuat syariat. Maka
menurut pandangan mereka, jika seseorang berkata: Ini halal, maka jadilah halal
meskipun itu haram di dalam Kitab Allah dan Sunnah RasulNya.
Maka
kita katakan: Kita kembali kepada Kitab Allah. Barangsiapa dipersaksikan dengan
kebenaran, maka kita berpegang dengannya. Dan barangsiapa nyata salahnya, kita
tinggalkan. Inilah yang wajib.
Dan sehingga tidaklah orang
yang memerintahkan untuk bersatu kecuali ia dianggap sebagai orang yang zindiq
atau gila [12].
Orang
yang memerintahkan untuk bersatu dan meninggalkan perselisihan akan dikatakan
bahwa orang ini keluar dari ajarannya, orang ini zindiq, karena ia meninggalkan
ucapan para ulama.
Sesungguhnya
kami tidak meninggalkan ucapan para ulama. Kami hanya menyodorkan kepada Kitab
Allah, kami tidak dibebani untuk mengikuti manusia. Kami hanya diperintah untuk
mengikuti Al-Qur`an dan As-Sunnah. Inilah yang benar. Kami tidak diperintah
untuk mengikuti orang
ini
dan itu. Dan Allah tidak membiarkan kita bersandar kepada pemikiran dan ijtihad
kita. Bahkan Dia telah menurunkan KitabNya dan telah mengutus kepada kita
RasulNya. Apabila kita kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya, maka pertentangan
dan perselisihan itu akan sirna dan persatuan akan terwujud. Apakah kalian tahu bahwa belum lama pernah
terjadi di Masjidil Haram ada empat mihrab. Setiap penganut madzhab shalat
berjama’ah bersama yang semadzhab dengan mereka di sekitar Ka’bah. Sampai Allah
tetapkan orang yang mengumpulkan mereka kepada satu imam dan segala puji hanya
bagi Allah, pemandangan yang tidak menyenangkan ini telah hilang.
Ini
seluruhnya karena mengikuti madzhab-madzhab dan mengikuti pemikiran-pemikiran.
Sampai-sampai shalat pun mereka pecah belah. Pengikut Abu Hanifah tidak shalat
di belakang pengikut Ahmad bin Hanbal. Orang yang bermadzhab Hanbali tidak
shalat di belakang orang yang bermadzhab Asy-Syafi’i. Mereka bahkan tidak
shalat di satu waktu. Yang ini shalat di awal waktu dan yang itu shalat di
akhirnya. Dikarenakan si Fulan berpendapat mengakhirkan shalat dan si Fulan yang
lain berpendapat mengawalkannya. Mereka ingin untuk membuat ridha semua
manusia.
Dan
ini kita temukan di sebagian negeri-negeri lain masih ada sampai sekarang.
Sampai shalat Jum’at tidak mereka selenggarakan di satu waktu. Sebagian mereka
tidak shalat Jum’at kecuali ketika mendekati ‘Ashr karena si Fulan berpendapat
demikian dan demikian. Jika salah seorang mereka ingin shalat di awal waktu,
maka ia pergi shalat bersama si Fulan ini. Jika ingin shalat di akhir, ia
shalat bersama si Fulan itu. Akan tetapi –segala puji hanya bagi Allah- kita
berada di negeri ini (Arab Saudi) berada di bawah naungan dakwah yang berkah.
Di Masjidil Haram ini, mereka kembali kepada kebiasaan para salafush shalih.Mereka
shalat bersama di satu waktu di belakang satu imam.
2. PONDASI KEDUA
Reviewed by suqamuslim
on
16.04
Rating:
Tidak ada komentar: