About

BELAJAR AGAMA ISLAM DIMULAI DARI AQIDAH

About

satu satunya

1. PONDASI PERTAMA

Pondasi Pertama


Mengikhlaskan agama untuk Allah ta’ala semata, tidak ada sekutu bagiNya[2].

[2]     Penjelasan: Pondasi pertama dari enam pondasi ini adalah mengikhlaskan agama untuk Allah semata tidak ada sekutu bagiNya. Ini adalah pondasi yang paling dasar dan asas agama. Dan inilah medan pertempuran antara para nabi dengan umatnya. Para nabi menghendaki agar umatnya memperbaiki pondasi ini. Pondasi yang Allah telah menciptakan makhluk untuk tujuan ini dan mengaitkan kebahagiaan mereka dengannya.

Sehingga, bukan hal yang paling penting bahwa manusia itu puasa, shalat, dan memperbanyak ibadah. Namun yang terpenting adalah ikhlas. Karena ibadah yang sedikit disertai keikhlasan lebih baik daripada ibadah yang banyak tanpa keikhlasan. Sekiranya manusia shalat di malam dan siang, bersedekah dengan harta-harta mereka, mengerjakan amalan ibadah, namun tidak disertai keikhlasan, maka tidak ada faidah pada amalannya. Karena amal ibadah itu harus disertai ikhlas.

Ikhlas maknanya adalah meninggalkan kesyirikan dan mengesakan Allah jalla wa ‘ala dalam beribadah. Dan tidak ada sesuatu pun yang berhak diibadahi, bagaimanapun sempurna dan mulianya ia, kecuali Allah. Tidaklah berhak diibadahi malaikat yang didekatkan, para nabi dan rasul, para wali dan orang-orang shalih. Inilah pondasi tersebut. Dan pondasi ini tidak bisa terwujud kecuali dengan meninggalkan kesyirikan. Adapun orang yang mencampuradukkan antara ibadah kepada Allah dengan menyekutukan dengan selainNya, maka amalannya batal.

Adapun yang memurnikan amal ibadahnya untuk Allah ‘azza wa jalla, maka inilah kebahagiaan. Meskipun amalnya sedikit. Karena amal yang sedikit dibarengi dengan ikhlas, maka padanya ada kebaikan dan keselamatan. Dan hadits bithaqah (kartu) yang sudah tidak asing lagi, artinya: “Seseorang dibangkitkan pada hari kiamat, lalu ditampakkan amalannya tertulis di lembaran-lembaran catatan. Setiap lembar panjangnya sejauh mata memandang dipenuhi dengan kejelekan-kejelekan. Lalu lembaran catatan ini diletakkan di satu daun timbangan dan diletakkan kartu yang padanya ada laa ilaaha illallah yang orang ini ucapkan dengan ikhlas, yakin, dan iman. Ternyata, kata ini lebih berat dibanding seluruh lembaran catatan kejelekan tersebut dan lembaran catatan kejelekan menjadi ringan.”

Inilah keikhlasan. Orang ini tidak mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah semata-mata lafazhnya. Namun ia mengucapkannya dengan mengetahui maknanya dan meyakini kandungannya, akan tetapi ia meninggal sebelum mampu beramal. Lalu bagaimana dengan yang memiliki amalan yang banyak, baik, dan ikhlas mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla?!

Pada hadits ini ada dalil bahwa ikhlas meskipun sedikit dapat menjadi sebab Allah menyelamatkan pelakunya dan menghapus seluruh dosa dan kejelekannya. Dan bahwa jika amalan kosong dari keikhlasan, maka amal yang banyak tidak ada faidahnya.


Dan penjelasan lawan darinya yaitu syirik kepada Allah[3].

[3].       Lawan tauhid adalah menyekutukan Allah ‘azza wa jalla. Jadi, tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sedangkan syirik adalah memalingkan sesuatu dari jenis-jenis ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, nadzar, berdoa, istighatsah, dan lain-lain. Inilah syirik. Dan syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam perkara uluhiyyah. Adapun syirik dalam perkara rububiyyah jarang terjadi.

Karena, seluruh umat pasti mengakui tauhid rububiyyah, tanpa bisa menolaknya. Tidak ada yang menentangnya kecuali orang-orang yang terang-terangan mengingkari, namun bersamaan itu ia mengakuinya di dalam batin. Karena pengakuan tauhid rububiyyah adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri. Semuanya mengetahui bahwa makhluk-makhluk dan keberadaan alam ini pasti ada penciptanya dan makhluk yang berjalan teratur ini pasti ada yang mengaturnya. Tidak bisa tercipta dengan begitu saja atau tidak bisa tercipta oleh dirinya sendiri. “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. Ath-Thur: 35-36)

Jadi, penetapan tauhid rububiyyah adalah hal yang sudah tetap dan fitrah, akan tetapi tidak cukup. Penetapan kaum musyrikin dalam tauhid  rububiyyah tidak cukup bagi mereka, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur`an. Al-Qur`an jelas dalam hal ini, “Dan apabila engkau tanya mereka, siapa yang telah menciptakan mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 87). Apa jawaban mereka? Mereka menjawab, Allah. Allah lah yang telah menciptakan kami. Inilah tauhid rububiyyah. Sehingga yang dituntut adalah tauhid uluhiyyah. Inilah yang menyebabkan pertentangan, perselisihan, dan perlawanan antara para rasul dengan umat-umat, antara para dai kepada Allah dengan manusia. Dalam perkara inilah terjadi pertentangan dan peperangan. Dan dalam perkara inilah terdapat hal-hal yang berkaitan dengan itu berupa wala` (loyalitas) dan bara` (berlepas diri) dan yang selain itu.

Dan isi Al-Qur`an paling banyak menjelaskan pondasi ini dari berbagai sisi dengan pembicaraan yang dapat dipahami oleh orang awam yang paling bodoh [4].

[4].       Allah jalla wa ‘ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisa`: 36). Apakah ini perkataan yang sulit dimengerti? Orang-orang awam pun memahaminya. “Sembahlah Allah dan janganlah kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun.” Mereka memahami perintah untuk beribadah dan larangan dari syirik, walaupun mereka tidak mempelajarinya. Mereka mengetahuinya dari bahasa mereka. Ini baru satu ayat, sedangkan Al-Qur`an dipenuhi dengan ayat semisal ini.

Ayat-ayat tersebut mereka lewati dan baca namun mereka tidak memikirkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kalian sekutukan Dia dengan sesuatu apa pun.” (QS. An-Nisa`: 36).

Namun, mereka juga mengatakan: Wahai ‘Ali, wahai Husain, wahai Badawi, wahai Tijani, wahai ‘Abdul Qadir. Mereka menjerit, berteriak, dan menyeru dengan suara yang paling keras: Wahai Fulan, wahai Fulan. Padahal si Fulan ini sudah mati.

Orang yang menyeru dan berteriak kepada orang mayit ini terkadang ia hafal Al-Qur`an dengan tujuh atau sepuluh qiraat dan ia membacanya dengan tajwid yang tiada tandingnya. “Mereka menegakkannya selurus anak panah” sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, akan tetapi ia memperhatikan huruf-hurufnya namun menyia-nyiakan batasan-batasannya.

Imam Ibnul Qayyim berkata: Al-Qur`an seluruhnya tentang tauhid. Karena Al-Qur`an itu berisi perintah untuk beribadah kepada Allah dan meninggalkan kesyirikan, atau penjelasan balasan orang yang bertauhid dan balasan orang yang berbuat kesyirikan, atau mengenai hukum-hukum halal dan haram yang merupakan hak-hak tauhid. Atau berisi kisah-kisah para rasul dan umat mereka, serta pertentangan yang
terjadi antara mereka, dan ini merupakan balasan tauhid dan syirik.

Sehingga, Al-Qur`an seluruhnya adalah tauhid dari awal sampai akhirnya. Meski demikian keadaannya dan mereka membaca Al-Qur`an ini, akan tetapi mereka tetap melakukan perbuatan syirik akbar. Mereka mengatakan laa ilaaha illallaah, tapi tidak memahaminya. Mereka ada satu lembah, sedang Al-Qur`an dan laa ilaaha illallaah ada di lembah lain. Itu hanya lafazh-lafazh yang mereka ucapkan di bibir saja.

Kalau engkau tanya salah seorang dari mereka: Apa makna laa ilaaha illallaah? Niscaya ia akan menjawab: Aku tidak tahu, aku belum mempelajarinya. Maka kita katakan kepadanya: Kalau begitu, engkau katakan laa ilaaha illallaah dalam keadaan engkau tidak mengetahui maknanya. Apakah hal ini pantas bagi seorang muslim?!

Engkau mengatakan suatu perkataan yang engkau tidak mengerti maknanya dan tidak memberikan perhatian padanya. Atau engkau mengatakan: Aku mendengar orang-orang berkata sesuatu, lalu aku pun ikut mengatakannya. Seperti ucapan orang munafik di alam kubur ketika ditanya, lalu ia mengatakan: Aku mendengar orang-orang mengatakansesuatu, lalu aku pun ikut mengatakannya. Yaitu, karena ikut-ikutan.

Sebagaimana Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Perumpamaan orang-orang kafir seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 171). Allah menyerupakan mereka dengan binatang-binatang ternak yang mendengar suara dan seruan penggembala dan berjalan menuruti suara si penggembala dalam keadaan ia tidak mengerti maknanya.


Kemudian terjadilah pada sebagian besar umat apa yang telah
terjadi. Setan telah menampakkan keikhlasan pada mereka dalam
bentuk menghinakan orang-orang shalih dan meremehkan hak-
hak mereka [5].

[5].       Jika dikatakan kepada mereka: Janganlah kalian berdoa kepada makhluk-makhluk, janganlah kalian beristighatsah kepada mereka. Berdoalah dan beristighatsahlah kepada Allah. Mintalah Allah. Menghadaplah kepada Allah dan janganlah kalian menghadap kepada kuburan dan orang-orang mati. Niscaya mereka akan mengatakan, “Engkau menghinakan wali-wali, mereka itu adalah wali-wali, kedudukan mereka di sisi kita adalah kita memuliakan, menghormati, dan memanggil-manggil nama-nama mereka. Inilah kedudukan mereka. Jadi engkau menghinakan dan engkau tidak mengerti kemuliaan mereka.” Demikianlah yang mereka katakan kepada para dai tauhid.

Maka, kita jawab mereka, “Kami mencintai orang-orang shalih, kami mencintai para wali Allah. Kami mencintai, memuliakan, dan menghormati mereka. Akan tetapi kami tidak memberi sedikit pun dari hak Rabb subhanahu wa ta’ala kepada mereka. Dan kami tidak memberikan sedikitpun peribadahan kepada mereka. Karena ibadah itu bukanlah hak mereka. Mereka pun tidak ridha untuk diibadahi. Mereka tidak ridha untuk diseru bersama Allah dan tidak ridha untuk dimintai pertolongan ketika dalam keadaan kesulitan.”


Dan setan menggambarkan kepada mereka syirik kepada Allah dalam bentuk cinta kepada orang-orang shalih dan pengikut-pengikut mereka [6].


[6].    Mereka mengatakan bahwa istighatsahnya mereka kepada orang-orang shalih dan permintaan tolong kepada mereka merupakan pengakuan terhadap keutamaan dan kemuliaan mereka. Ini adalah perkara yang setan menghias-hiasi untuk mereka. Yang diinginkan setan di sini adalah setan dari kalangan jin dan manusia. Ulama yang sesat adalah setan dari kalangan manusia yang mereka berbicara, menulis, dan mengarang dalam rangka menyeru kepada kesyirikan. Mereka menyangka bahwa ini termasuk mengagungkan orang-orang shalih, termasuk pengakuan terhadap keutamaan mereka, termasuk kecintaan kepada mereka. Dan bahwa dengan tidak berdoa kepada mereka dan tidak beristighatsah kepada mereka termasuk sikap tidak suka terhadap hak-hak mereka dan membenci mereka. Dan seterusnya dari perkataan mereka. Ini ada di dalam kitab-kitab mereka.


1. PONDASI PERTAMA 1. PONDASI PERTAMA Reviewed by suqamuslim on 16.03 Rating: 5

Tidak ada komentar: