Syarh Al-Ushulus Sittah
Karya Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah
Syarh Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan
Anggota Hai`ah Kibaril ‘Ulama dan Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Ifta`
Segala puji bagi Allah
Rabb alam semesta. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga Allah curahkan kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga, dan para shahabat beliau seluruhnya.
Asy-Syaikh Muhammad bin
‘Abdul Wahhab –imam dakwah Islam
dan penjaga ajaran tauhid-
berkata:
Termasuk perkara yang
paling menakjubkan dan ayat-ayat yang paling besar yang menunjukkan kekuasaan
Allah adalah enam pondasi. Allah ta’ala telah menjelaskannya dengan sangat
jelas bagi orang awam, melebihi persangkaan banyak orang. Akan tetapi, banyak
yang keliru di dalam masalah ini dari kalangan orang-orang yang cerdas dan
berakal kecuali sedikit sekali [1].
[1] Segala puji bagi Allah
Rabb alam semesta. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga Allah limpahkan
kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan shahabat beliau seluruhnya.
Tidak
diragukan bahwa Allah subhanahu telah menurunkan Al-Qur`an untuk menjelaskan
segala sesuatu. Dan tidak diragukan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan Al-Qur`an ini dengan penjelasan yang memuaskan. Perkara yang
paling agung yang telah Allah dan RasulNya jelaskan di dalam Al-Qur`an ini
adalah perkara tauhid dan syirik. Karena tauhid merupakan pondasi Islam dan
pondasi agama. Di atas tauhid ini dibangun seluruh amal ibadah. Adapun syirik akan
membatalkan pondasi ini, merusaknya, hingga menghilangkannya. Hal ini karena
dua perkara ini saling berlawanan dan saling membatalkan. Keduanya tidak akan
berkumpul selamanya. Atas hal ini, Allah subhanahu menjelaskan pondasi ini di
dalam kitabNya, bahkan di dalam Al-Qur`an semuanya. Sehingga hampir-hampir
tidak ada satu surat pun yang luput dari penyebutan tauhid dan syirik. Dan
manusia pun membaca Al-Qur`an ini dan mengulang-ulanginya.
Akan
tetapi sedikit orang yang memperhatikan penjelasan ini, sehingga engkau akan
mendapati banyak manusia yang membaca Al-Qur`an namun bersamaan itu juga terjatuh
di dalam kesyirikan dan meremehkan tauhid. Padahal perkara tauhid dan syirik
ini adalah perkara yang jelas di dalam Kitab Allah dan di dalam Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan mereka berjalan
di atas adat kebiasaan dan apa yang mereka dapati dari ayah-ayah mereka dan tokoh-tokoh
mereka. Sehingga yang menjadi patokan menurut mereka adalah apa yang mereka
dapati bapak-bapak, tokoh-tokoh, dan penduduk negeri mereka. Mereka tidak
berfikir walau sebentar untuk merenungi dan mentadaburi Al-Qur`an, kemudian
mereka bandingkan dengan perilaku hidup manusia, apakah yang mereka lakukan itu
benar atau tidak.
Namun,
taqlid buta kepada bapak-bapak dan kakek-kakek mereka telah mencengkeram
mereka. Bahkan mereka hanya menganggap Al-Qur`an itu dibaca untuk mendapatkan
berkah dan untuk meraih pahala ketika dibaca. Dan tidak dimaksudkan dibaca
untuk tadabur dan beramal dengan apa yang terdapat di dalamnya.
Sedikit
manusia yang membaca Al-Qur`an untuk tujuan ini. Mereka membaca hanya untuk
mencari berkah, menikmati suara qari`, mendendangkannya, atau membacakan kepada
orang yang sakit dengan tujuan pengobatan.
Adapun
Al-Qur`an itu dibaca untuk diamalkan, ditadaburi, diterapkan, dan dibandingkan
dengan apa yang dijalani oleh manusia, maka ini tidak didapati kecuali pada
sekelompok kecil manusia. Kita tidak mengatakan tidak ada sama sekali, akan
tetapi sangat sedikit. Oleh karena itu, engkau dapati Al-Qur`an berada di
sebuah lembah sedangkan amalan sebagian manusia berada di lembah yang lain.
Mereka tidak berfikir untuk membuat perubahan sama sekali. Sekiranya ada
seorang mujaddid atau da’i yang mengajak kepada Allah mencoba untuk mengubah
kebiasaan mereka, niscaya mereka akan berdiri di hadapannya lalu menuduhnya
dengan kesesatan. Mereka menuduhnya bahwa ia telah keluar dari agama atau ia
membawa agama baru dan tuduhan-tuduhan lainnya.
Sebagaimana
hal ini terjadi pada Syaikh sendiri. Tatkala beliau mencoba untuk mengembalikan
manusia kepada Al-Qur`an dan petunjuk yang terdapat di dalamnya dan beliau
mengubah kebiasaan mereka yang berupa adat dan taklid yang rusak, maka mereka
marah kepada beliau, membid’ahkan beliau, dan menuduh beliau sebagai orang yang
fasiq. Bahkan mereka mengkafirkannya dan menuduh beliau dengan berbagai tuduhan.
Namun, pada hakikatnya hal ini tidak bermudharat dan bukan hal yang aneh.
Karena para nabi telah dituduh dengan tuduhan yang lebih parah daripada itu.
Ketika mereka ingin mengubah kebiasaan umat-umat terdahulu berupa ibadah kepada
selain Allah, maka mereka pun dituduh berbagai tuduhan. Padahal mereka adalah
para nabi, lalu bagaimana dengan para da’i dan ulama?! Maka ini tidak aneh
lagi. Dan ini tidak merendahkan kehormatan para ulama dan da’i. Bahkan ini menambah
kebaikan-kebaikan mereka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Bahkan
kerendahan itu kembali kepada yang mengucapkannya, yang membicarakannya, dan
yang menulisnya. Sungguh ini akan kembali kepada mereka. Adapun ulama yang ikhlas
dan para da’i yang mengajak kepada Allah, maka tuduhan-tuduhan ini tidak
memudharatkan mereka, bahkan menambah derajat dan kebaikan mereka. Dan mereka
memiliki teladan dari para nabi dan apa yang diucapkan dan dituduhkan kepada mereka.
Dan Allah ta’ala berfirman kepada NabiNya, yang artinya, “Tidaklah yang
diucapkan kepadamu, kecuali juga telah diucapkan kepada rasul-rasul sebelum
engkau. Sesungguhnya RabbMu memiliki ampunan dan memiliki siksa yang pedih.”
(QS. Fushshilat: 43).
Maka
Syaikh rahimahullah di dalam ungkapan ini, beliau menjelaskan perkara yang
mengherankan ini, yaitu bahwa manusia itu membaca Al- Qur`an, memperbanyak
membacanya, mengkhatamkannya, menghafalkannya, dan membacanya dengan tartil.
Mereka memusatkan perhatiannya terhadap lafazh-lafazh Al-Qur`an dan tajwidnya,
serta hukum-hukum mad, hukum-hukum idgham, ghunnah, iqlab, izhhar, ikhfa`. Dan
mereka mengupayakan dengan upaya yang terbaik. Hal ini adalah perkara yang
baik.
Akan
tetapi, maksud yang paling penting bukanlah itu. Akan tetapi maksud dari
Al-Qur`an adalah untuk ditadaburi maknanya, memahami kitab Allah ‘azza wa
jalla, kemudian membandingkan amalan kita dan amalan manusia kepada Kitab
Allah, apakah cocok dengan Kitab Allah atau justru menyelisihinya?
Inilah
yang dituntut. Yaitu agar kita memperbaiki keadaan kita dan waspada dari
kesalahan manusia. Bukan karena tujuan ingin menyebarkan aib dan ingin
mendapatkan apa yang ada di sisi manusia, namun tujuannya untuk memperbaiki dan
menasehati.
0. MUQODIMAH
Reviewed by suqamuslim
on
15.45
Rating:
Tidak ada komentar: