About

BELAJAR AGAMA ISLAM DIMULAI DARI AQIDAH

About

satu satunya

4. PONDASI KEEMPAT



Pondasi Keempat


Penjelasan ilmu dan ulama, penjelasan fiqih dan ahli fiqih. [16]

Ini adalah pondasi yang agung, yaitu penjelasan apa yang dimaksud dengan ilmu. Yaitu bahwa ilmu itu adalah ilmu syar’i yang dibangun di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah ilmu yang bermanfaat. Adapun ilmu-ilmu duniawi berupa ilmu untuk mata pencaharian, ilmu produksi, ilmu kedokteran, dan yang lainnya; maka tidak dimutlakkan padanya lafazh ilmu tanpa pembatasan.

Sehingga, jika hanya dikatakan “ilmu” saja dan padanya ada keutamaan, maka sesungguhnya yang diinginkan dengannya adalah ilmu syar’i. Adapun ilmu tentang mata pencaharian, ilmu produksi, dan ilmu terkait pekerjaan adalah ilmu-ilmu yang mubah dan tidak dimutlakkan padanya nama ilmu tanpa ada pembatasan.

Namun, dikatakan: ilmu teknik, ilmu kedokteran. Akan tetapi disayangkan, kenyataan yang terjadi sekarang jika dikatakan lafazh ilmu, maka dalam anggapan kebanyakan manusia yang dimaukan dengannya adalah ilmu-ilmu baru. Dan ketika mereka mendengar suatu dari AlQur`an, mereka mengatakan: Ayat ini mendukung ilmu-ilmu baru itu; dan jika mendengar satu hadits, mereka mengucapkan: Ini juga mendukung ilmu itu.

Jadilah saat sekarang ini, ilmu malah dimutlakkan kepada ilmu tentang pekerjaan, ilmu produksi, ilmu kedokteran, dan selain itu. Padahal bersamaan dengan itu, pada ilmu tersebut terdapat pula kebodohan. Karena, terkadang pada ilmu itu terdapat kekeliruan yang banyak. Hal itu disebabkan ilmu itu adalah hasil usaha atau penelitian manusia. Beda halnya dengan ilmu syar’i yang berasal dari Allah. Ilmu ini adalah ilmu “Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42).

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28). Mereka adalah orang yang berilmu syar’i, orang-orang yang mengenal Allah ‘azza wa jalla. Adapun orang-orang yang memiliki ilmu teknik, ilmu produksi, ilmu penemuan, dan ilmu kedokteran, maka mereka itu terkadang tidak mengerti hak Allah jalla wa ‘ala dan mereka tidak mengenal Allah. Sekiranya mereka mengenalnya, maka pengenalan mereka dangkal. Sehingga, orang-orang yang mengenal Allah adalah ulama syariat. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” Dikarenakan mereka mengenal Allah dengan nama-nama dan sifatsifatNya. Mereka mengenal hakNya subhanahu wa ta’ala. Dan perkara ini tidak tercapai dengan ilmu kedokteran dan ilmu teknik. Terkadang dengan ilmu-ilmu itu hanya tercapai tauhid rububiyyah saja. Adapun tauhid uluhiyyah, hanya bisa dicapai dengan ilmu syariat.


Dan penjelasan orang-orang yang menyerupai mereka padahal bukan termasuk mereka. [17]

Yang dimaksud adalah penjelasan orang-orang yang menyerupai ulama padahal dia tidak termasuk ulama. Orang itu hanyalah mirip dan menyerupai ulama dalam keadaan dia tidak memiliki ilmu. Ini sangat berbahaya untuk dirinya dan umat ini, karena dia berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dan menyesatkan manusia tanpa ilmu. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Maka siapakah yang lebih zhalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan?” (QS. Al-An’am: 144). Dan dikatakan, “Ada empat jenis orang yang merusak dunia: setengah ahli fikih, setengah ahli nahwu, setengah dokter, dan setengah ahli ilmu kalam. Yang ini merusak negeri, ini merusak lisan, ini merusak badan, dan yang ini merusak agama.”


Dan sungguh Allah ta’ala telah menjelaskan pondasi ini di awal surah Al-Baqarah, dari firmanNya yang artinya: “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu…” (QS. Al-Baqarah: 40) sampai firmanNya sebelum penyebutan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang artinya: “Hai Bani Israil…” (QS. Al-Baqarah: 122). [18]

Allah jalla wa ‘ala pada surah Al-Baqarah menurunkan banyak ayat mengenai Bani Israil untuk mengingatkan mereka terhadap nikmat Allah kepada mereka. Juga untuk memerintahkan mereka agar mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka mengetahui kenabian dan kerasulan beliau di dalam kitab-kitab mereka dan para nabi mereka pun telah memberi kabar gembira dengan kedatangan beliau. Allah memulainya dari firmanNya yang artinya, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu, dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu…” (QS. Al-Baqarah: 40). Dan Dia menutupnya dengan firmanNya yang artinya, “Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-Baqarah: 47). “Dan takutlah kamu kepada suatu hari di waktu seseorang tidak dapat menggantikan seseorang lain sedikitpun dan tidak akan diterima suatu tebusan daripadanya dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafa'at kepadanya…” (QS. Al-Baqarah: 123). Kemudian Dia menyebutkan tentang Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu was salam. Allah berfirman yang artinya, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Rabbnya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan)...” (QS. Al-Baqarah: 124).

Seluruh ayat-ayat antara ayat pertama dan ayat terakhir, ayat-ayat yang banyak ini mengenai Bani Israil untuk mengingatkan mereka terhadap nikmat Allah dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab. Dan sesungguhnya wajib bagi mereka untuk beriman kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bani Israil adalah anak-anak Ya’qub. Israil adalah Ya’qub. Bani Israil berasal dari keturunan beliau dan mereka ada dua belas sibth (suku). Setiap anak dari anak-anak beliau menjadi keturunan beliau. Dan setiap keturunan dinamakan sibth yang sederajat dengan kabilah-kabilah di kalangan ‘Arab. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar…” (QS. Al-A’raf: 160).


Yang lebih memperjelas adalah apa-apa yang telah As-Sunnah terangkan berupa ucapan-ucapan yang banyak yang jelas lagi terang bagi orang awam yang bodoh sekalipun. [19]

Akan tetapi, kemudian pondasi ini menjadi hal yang paling asing, sehingga ilmu dan fikih dianggap sebagai bid’ah dan kesesatan. [20]

Benar, terdapat hadits-hadits mengenai hal ini berupa anjuran untuk mempelajari ilmu dan motivasi untuk itu. Juga penjelasan apa itu ilmu yang bermanfaat dan apa itu ilmu yang tidak banyak bermanfaat. Apabila engkau merujuk kepada kitab Jami’ Bayanil ‘Ilm wa Fadhlih karya Ibnu ‘Abdul Barr atau selain itu, maka engkau akan mengetahui hadits-hadits tersebut.

Ilmu dan fikih menurut sebagian orang-orang belakangan dianggap sebagai bid’ah dan kesesatan. Ini dikarenakan mereka meninggalkan ilmu yang shahih yang dibangun di atas Kitab Allah dan Sunnah RasulNya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga, jadilah ilmu dalam pandangan mereka adalah fulan berkata begini, fulan berkata begitu, dan hikayat-hikayat.

Seperti ucapan mereka: Sesungguhnya kuburan Fulan dapat memberi manfaat dari perkara ini dan bahwa di tempat Fulan ia melihat seseorang di dalam mimpinya demikian. Inilah ilmu mereka. Atau mereka mencari hadits-hadits palsu yang telah dikubur oleh para ulama, dan para ulama telah menjelaskan bahwa hadits ini didustakan. Lalu engkau dapati orang-orang yang membuat khurafat menjadikan hadits tersebut sebagai hadits shahih dan mereka menghiasinya dengan sanadsanad. Dan mereka membenahinya lalu mengatakan: Ini adalah hadits shahih. Sedangkan, mereka malah meninggalkan hadits-hadits shahih yang terdapat di dalam kitab Al-Bukhari dan Muslim, serta kitab sunan yang empat dan kitab musnad yang dikenal. Mereka meninggalkannya karena hadits-hadits itu tidak cocok dengan tujuan mereka.


Dan hal yang mereka anggap baik adalah bercampurnya kebenaran dengan kebatilan. [21] Sehingga ilmu yang Allah ta’ala wajibkan kepada makhluk dan Allah puji, tidaklah yang membicarakan kecuali dikatakan zindiq atau gila. [22]

Wajib untuk membedakan yang benar dari yang batil dan memisahkan antara keduanya. Adapun apabila tercampur antara keduanya, maka ini adalah pengaburan, penipuan, dan pemalsuan terhadap manusia.

Karena ilmu yang benar itu menyelisihi adat kebiasaan mereka. Sehingga, ilmu yang telah Allah sanjung dan puji padanya dan pada ahlinya, mereka anggap sebagai kebodohan. Dan barangsiapa yang berbicara mengenai ilmu itu mereka anggap sebagai orang gila. Karena mereka katakan: Bahwa ilmu yang Allah telah wajibkan akan mengubah adat kebiasaan manusia dan mengubah agama bapak-bapak dan nenek moyang kami.


Dan orang yang mengingkari ilmu, memusuhinya, membuat tulisan untuk memperingatkan darinya, dan melarang darinya dianggap sebagai orang yang fakih dan berilmu. [23]

Siapa yang menulis tentang peringatan dari ilmu yang bermanfaat, memuji ilmu yang tercela, dan menyebarkannya kepada manusia, akan mereka katakan: Dia ini adalah orang yang fakih, dia adalah orang yang ‘alim. Adapun orang yang menyebarkan ilmu yang benar, akan mereka katakan: Ini tidak boleh, orang ini jahil, orang ini ingin memecah belah manusia. Mereka katakan: Sesungguhnya kami ingin bersatu, kami tidak mau berpecah belah. Maksud mereka: bersatu meskipun di atas kebatilan. Mereka katakan lagi: Kami tidak ingin perpecahan yang padanya ada pemisahan yang haq dari yang batil dan pemisahan yang baik dari yang buruk.

Namun, ini mustahil. Karena tidak bisa terwujud persatuan di atas kebatilan. Persatuan hanya bisa terwujud di atas kebenaran. Seorang penyair mengatakan, “Apabila luka itu dirawat dengan keliru, maka akan tampak padanya keteledoran si dokter.”


4. PONDASI KEEMPAT 4. PONDASI KEEMPAT Reviewed by suqamuslim on 21.19 Rating: 5

Tidak ada komentar: